Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada paruh pertama 2025 diperkirakan menghadapi dinamika dua arah. Di satu sisi, momentum positif diharapkan datang dari tradisi konsumsi selama Ramadan dan Idul Fitri pada kuartal kedua, yang secara historis mendorong permintaan domestik. Dukungan kebijakan seperti program kesejahteraan, keringanan makroprudensial untuk sektor tertentu, kenaikan upah minimum, dan pertumbuhan upah riil juga menjadi faktor pendorong. Namun, di sisi lain, pemangkasan belanja pemerintah (Rp307 triliun) berpotensi mengurangi kepercayaan sektor swasta dan menunda investasi, terutama terkait proyek infrastruktur. Selain itu, basis perbandingan yang tinggi akibat lonjakan aktivitas pemilu 2024 membuat pertumbuhan tahun 2025 terkesan lebih moderat.
DBS Group Research memproyeksikan pertumbuhan tahun 2025 sebesar 5,1%, sedikit lebih tinggi dari 5,03% di 2024, dengan asumsi pemulihan di paruh kedua tahun. Namun, risiko eksternal seperti kenaikan suku bunga AS dan ketergantungan pada hubungan ekonomi dengan Tiongkok (yang sedang mengalami perlambatan) perlu diwaspadai.
Inflasi Indonesia pada Februari 2025 tercatat -0,1% (yoy), deflasi pertama dalam dua dekade. Penurunan ini terutama dipicu oleh kebijakan diskon listrik yang berakhir pada Januari-Februari, yang menyebabkan kontraksi 0,6% (bulanan). Sektor energi juga mengalami deflasi 16% (yoy) akibat kendali harga pemerintah. Meski demikian, inflasi inti tetap stabil di 2,5% (yoy), mencerminkan permintaan domestik yang terjaga.
DBS Group Research memprediksi inflasi akan kembali ke kisaran target BI (1,5-3,5%) pada paruh kedua 2025, seiring habisnya efek kebijakan diskon. Namun, tekanan inflasi diproyeksikan muncul dari kenaikan harga rokok, transportasi, minyak nonsubsidi, dan kenaikan musiman harga pangan selama Lebaran. Proyeksi inflasi tahunan direvisi turun menjadi 1,2% (dari 2,2%), meski risiko kenaikan harga komoditas global dan kebijakan PPN terbatas pada barang mewah (hanya menambah penerimaan Rp1,5-3,5 triliun) perlu dipantau.
Bank Indonesia (BI) menghadapi dilema: tren deflasi sementara mendorong ruang untuk penurunan suku bunga, tetapi stabilitas rupiah tetap rentan. Rupiah terdepresiasi -2,3% (YTD 2025), menjadi mata uang regional dengan kinerja terburuk, dipicu oleh penguatan dolar AS dan ketidakpastian global. Kebijakan BI membeli obligasi pemerintah senilai Rp130 triliun untuk program perumahan juga memicu kekhawatiran monetisasi utang, yang berpotensi melemahkan kepercayaan investor.
Di pasar saham, volatilitas tinggi terlihat dengan indeks melonjak ke level tertinggi lima tahun, meski sebelumnya sempat masuk fase bearish. Otoritas menunda penerapan short selling hingga akhir 2025 untuk mengurangi gejolak, mencerminkan prioritas stabilitas jangka pendek.
Neraca Eksternal: Surplus perdagangan barang diproyeksikan menyempit akibat moderasi pertumbuhan global. Defisit transaksi berjalan 2024 melebar ke 0,6% PDB (8,9miliar), tetapi surplus neraca pembayaran meningkat menjadi 8,9miliar),tetapi surplus neraca pembayaran meningkat menjadi7,2 miliar berkat arus investasi asing (FDI dan portofolio). Tahun 2025, defisit transaksi berjalan diprediksi -0,9% PDB, masih dalam batas aman.
Kebijakan Fiskal : Defisit 2024 tercatat -2,3% PDB (lebih baik dari proyeksi -2,7%), didukung peningkatan pendapatan 2%. Untuk 2025, defisit diproyeksikan -2,5% PDB, dengan tantangan utama pada pendanaan program kesejahteraan (misal: makan gratis, kesehatan, stimulus perumahan) yang belum jelas sumber dananya. Penundaan kenaikan PPN luas (hanya berlaku untuk barang mewah) mengurangi potensi pendapatan dari Rp15 triliun menjadi maksimal Rp3,5 triliun. Pembentukan BPI Danantara (dana awal $20 miliar dari dividen BUMN) menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas anggaran dan potensi beban fiskal tersembunyi.
Koordinasi Fiskal-Moneter: BI perlu menjaga stabilitas rupiah sambil menghindari tekanan berlebihan pada sektor riil. Koordinasi dengan pemerintah dalam pendanaan program kesejahteraan harus transparan untuk mencegah risiko monetisasi utang.
Reformasi Pajak: Perluasan basis pajak dan optimalisasi pajak progresif (bukan hanya PPN mewah) diperlukan untuk meningkatkan pendapatan tanpa membebani rumah tangga berpenghasilan rendah. Mitigasi Risiko Eksternal: Diversifikasi ekspor dan penguatan kerja sama ekonomi non-Tiongkok dapat mengurangi kerentanan terhadap perlambatan global. Akuntabilitas Anggaran: Klarifikasi pendanaan program kesejahteraan dan mekanisme BPI Danantara diperlukan untuk menjaga kepercayaan investor.
Ekonomi Indonesia di 2025 berada di persimpangan: momentum pertumbuhan didukung konsumsi domestik dan kebijakan pro-rakyat, tetapi terhambat oleh ketidakpastian fiskal dan eksternal. Deflasi sementara memberikan ruang bagi stimulasi, namun stabilitas rupiah dan disiplin anggaran tetap menjadi kunci. Keberhasilan menjaga keseimbangan ini akan menentukan apakah target pertumbuhan 5,1% tercapai atau justru terkoreksi oleh gejolak global dan ketegangan fiskal domestik.