Shell, BP, dan Vivo Berebut Posisi di Tengah Ekspansi SPBU

Awal April 2025 menjadi saksi panasnya persaingan tiga raksasa BBM—Shell, BP-AKR, dan Vivo—dalam memenangkan hati konsumen. Penurunan harga mereka bukan sekadar insidental, melainkan bagian dari strategi besar menghadapi ekspansi BP-AKR yang kini menguasai 50 SPBU di Jabodetabek dan Jawa Timur. Shell memangkas harga Super-nya sebesar Rp670 per liter, sementara Vivo mengguncang pasar dengan Revvo 92 yang turun drastis Rp1.300 per liter. Di sisi lain, BP-AKR tak mau kalah: BP Diesel mereka turun Rp740 per liter, langkah agresif untuk menarik sopir truk dan bus yang sensitif harga.

Persaingan ini makin menarik ketika melihat peta harga terbaru. Vivo Revvo 92 kini menjadi bensin oktan 92 termurah di Rp12.290 per liter, mengalahkan BP 92 (Rp12.800) dan Shell Super (Rp12.920). Namun, BP-AKR punya senjata lain: jaringan SPBU yang merangsek ke pusat kota dan jalur tol strategis. Sejak 2018, mereka membangun 50 SPBU di dua wilayah padat konsumen, dan rencananya akan menambah 20 titik lagi di Sumatera dan Bali tahun ini.

Di balik gencarnya diskon, terselip pertanyaan kritis: apakah penurunan harga murni akibat persaingan, atau ada faktor lain? Fluktuasi harga minyak dunia yang stabil di kuartal pertama 2025 memberi ruang bagi perusahaan bermain margin. Namun, ancaman regulasi pajak karbon dan masuknya pemain baru berbasis energi terbarukan juga mungkin memicu strategi jangka pendek ini. Tak lupa, trauma kasus Pertalite bercampur air di Manado membuat perusahaan harus berhati-hati—apakah kualitas BBM tetap terjaga meski harganya dipangkas?

Bagi konsumen, situasi ini bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, pengendara harian dan pelaku usaha bisa menghemat hingga puluhan ribu rupiah per minggu. Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran jebakan loyalitas: harga murah hari ini bisa jadi taktik untuk menutupi praktik bisnis meragukan. Shell, misalnya, tetap mengandalkan citra premium-nya dengan V-Power, sementara Vivo memilih jadi “juara harga” untuk segmen menengah-bawah.

Pertarungan ini masih panjang. BP-AKR terus memperluas jaringan, Shell berinvestasi dalam layanan digital, dan Vivo menggarap pasar kota kecil. Satu hal pasti: di tengah transisi energi global, perang harga BBM 2025 bukan sekadar persaingan sesama BBM fosil, melainkan pertanda industri ini sedang berlomba bertahan sebelum era listrik dan hidrogen benar-benar mengubah aturan main.

(Sumber : Liputan6.com)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *