Gempuran Tarif AS vs Ambisi Lokal: Bisakah Industri Motor Listrik Indonesia Bertahan di Tengah Perang Dagang Global?

Bayangkan sebuah arena pertarungan global, di mana Indonesia, dengan populasi terbesar ke-4 di dunia, tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat, yang menyasar 185 negara, bukan sekadar guncangan bagi ekspor global. Di balik angka statistik yang tampak aman, gelombang efek domino mulai mengancam masa depan kendaraan listrik di Tanah Air. Indonesia, dengan pasar otomotifnya yang menggiurkan, kini menjadi medan pertempuran baru, diperebutkan oleh raksasa-raksasa industri global, terutama China, yang terdesak oleh tarif Amerika Serikat.

Lonjakan harga komponen impor akibat tarif Amerika Serikat berpotensi memicu inflasi sektor otomotif listrik di dalam negeri. Daya beli masyarakat yang tertekan bisa memperlambat transisi Indonesia menuju era elektrifikasi kendaraan. Namun, ancaman yang lebih nyata datang dari gelombang produk China, yang kini terjepit di pasar Amerika Serikat. Dengan kekuatan produksi masif dan harga kompetitif, produk-produk Negeri Tirai Bambu siap membanjiri pasar Indonesia, pasar terbesar di ASEAN yang sedang panas-panasnya diincar investor global.

Di tengah kekacauan ini, Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (AISMOLI) berteriak lantang. Ketua AISMOLI, Budi Setiyadi, dalam siaran resminya, Jumat (4/4/2025) menegaskan, “Ini bukan saatnya lengah! Jika kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) tidak diperketat, industri lokal akan tenggelam oleh produk impor murah.” Seruannya jelas: perkuat regulasi, kawal implementasi TKDN, dan ciptakan ekosistem yang pro-produsen lokal.

Kebijakan TKDN, yang sering dianggap sebagai solusi instan, ternyata menyimpan kompleksitas tersendiri. Di satu sisi, aturan ini bisa memaksa produsen global berinvestasi di Indonesia. Di sisi lain, pengawasan yang lemah berisiko membuat TKDN hanya menjadi stempel formalitas, sementara komponen kunci tetap diimpor. AISMOLI menuntut audit ketat dan sanksi tegas bagi pelanggar, bukan sekadar aturan di atas kertas.

Kini, Indonesia berada di persimpangan jalan. Tantangan ini bisa menjadi momentum emas jika Indonesia mampu memanfaatkan tekanan global untuk mempercepat penguasaan teknologi baterai dan komponen kritis, menciptakan insentif bagi riset dan produksi lokal, serta membangun aliansi strategis dengan negara-negara produsen bahan baku EV (seperti nikel). Jika berhasil, krisis ini justru bisa melambungkan Indonesia sebagai pemain kunci EV global. Namun, jika gagal, bersiaplah menjadi tong sampah produk-produk impor yang kalah di pasar Amerika Serikat.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *